Bertahan Hidup: Keharusan Atau Pilihan?
Guys, pernah nggak sih kalian ngerasa kayak terombang-ambing sama kehidupan? Kayak dipaksa buat terus jalan, padahal rasanya udah nggak punya tenaga lagi. Nah, itu yang namanya bertahan karena terpaksa. Rasanya tuh kayak lagi main game yang levelnya susah banget, tapi kamu nggak bisa game over gitu aja. Harus terus maju, entah gimana caranya. Tapi, pertanyaan besarnya, apa sih yang bikin kita terus bertahan? Apakah karena kita memang punya mental baja, atau cuma karena kita nggak punya pilihan lain?
Mari kita bedah lebih dalam, kenapa sih kita sering banget terjebak dalam situasi yang bikin kita harus bertahan karena terpaksa. Seringkali, ini datang dari tekanan eksternal. Bisa jadi karena tuntutan keluarga, tanggung jawab pekerjaan, atau bahkan kondisi ekonomi yang memaksa kita untuk terus berjuang. Bayangin aja, ada orang yang harus kerja banting tulang demi menyekolahkan adiknya, padahal dia sendiri pengen banget kuliah. Atau mungkin, ada yang harus terus bertahan di hubungan yang udah nggak sehat, cuma gara-gara takut sendirian atau nggak punya pegangan. Situasi kayak gini bikin kita merasa kayak robot, yang cuma menjalankan perintah tanpa ada rasa bahagia. Kita tuh kayak lagi lari maraton yang nggak ada garis finish-nya. Terus-terusnya lari, tanpa ada istirahat yang layak. Dan yang paling parah, seringkali kita nggak sadar kalau kita udah sejauh ini berlari. Kita udah lupa sama tujuan awal kita, yang penting cuma gimana caranya biar nggak jatuh aja. Ini nih yang bikin mental health kita jadi taruhan. Kalau udah begini, yang namanya kebahagiaan pribadi itu jadi nomor sekian. Yang utama adalah gimana caranya biar bisa survive. Kadang, kita bahkan sampai mengorbankan mimpi-mimpi kita sendiri, cuma demi memenuhi ekspektasi orang lain atau tuntutan situasi. Rasanya tuh kayak lagi ngorbanin diri sendiri di altar pengorbanan. Nggak ada yang salah sih sama berkorban, tapi kalau itu terus-terusan dan bikin kita sengsara, ya percuma juga, kan?
Selain tekanan eksternal, ada juga faktor internal yang bikin kita bertahan karena terpaksa. Kadang, kita sendiri yang menuntut diri kita untuk kuat. Kita punya standar yang tinggi banget buat diri sendiri, sampai-sampai kita lupa kalau kita juga manusia yang punya batas. Mungkin karena kita pernah gagal di masa lalu, jadi kita takut banget buat gagal lagi. Makanya, kita paksain diri buat terus maju, meskipun udah nggak sanggup. Atau bisa jadi, kita punya rasa tanggung jawab yang besar banget. Kita merasa nggak enak kalau sampai mengecewakan orang lain, jadi kita paksain diri buat memenuhi semua harapan. Sikap perfeksionis ini sering banget jadi jebakan. Kita sibuk banget ngejar kesempurnaan, sampai lupa sama kebahagiaan. Padahal, hidup itu nggak harus sempurna, yang penting kita bisa nikmatin prosesnya. Yang namanya kegagalan itu wajar, guys. Itu bagian dari proses belajar. Kalau kita terus-terusan lari dari kegagalan, kita nggak akan pernah bisa berkembang. Kita harus belajar menerima kalau kita nggak selalu bisa jadi yang terbaik. Kadang, istirahat itu lebih penting daripada terus-terusan maksa. Kalau kita paksain terus, badan dan pikiran kita bisa burnout. Dan kalau udah burnout, mau maju sejauh apapun juga nggak akan bisa. Jadi, penting banget buat kita kenali batas diri kita. Jangan sampai kita jadi budak dari ekspektasi diri sendiri. Ingat, kita juga butuh waktu buat recharge energi. Nggak apa-apa kok kalau sesekali kita merasa lemah. Itu tandanya kita butuh perhatian lebih dari diri sendiri. Jadi, yuk, mulai belajar buat lebih baik sama diri sendiri. Hargai setiap usaha yang udah kita lakuin, sekecil apapun itu. Karena pada akhirnya, diri kita sendiri yang akan ngerasain dampaknya.
Mengapa Kita Punya Keinginan untuk Bertahan?
Oke, guys, sekarang kita masuk ke bagian yang lebih seru nih. Kenapa sih, meskipun rasanya berat banget, kita tuh tetep punya dorongan buat bertahan hidup? Padahal, kalau dipikir-pikir, kadang lebih gampang nyerah aja, kan? Tapi, ternyata ada beberapa alasan kuat di balik naluri bertahan hidup kita ini. Salah satunya adalah naluri dasar manusia. Sejak kita lahir, kita udah dibekali sama yang namanya naluri buat hidup. Ini kayak software bawaan dari pabriknya, yang bikin kita secara otomatis pengen terus bertahan. Kita nggak mau mati, kita mau terus ada. Simpel aja, kan? Tapi, naluri ini tuh kuat banget, lho. Dia yang bikin kita terus gerak, terus cari makan, terus cari tempat aman, pokoknya gimana caranya biar badan kita tetep hidup. Nggak peduli seberat apapun situasinya, naluri ini bakal terus bisikin kita, "Ayo, jangan nyerah!"
Selain naluri dasar, ada juga faktor psikologis yang nggak kalah penting. Salah satunya adalah harapan. Ya, harapan! Siapa sih yang nggak punya harapan? Entah itu harapan buat masa depan yang lebih baik, harapan buat ngelihat anak tumbuh besar, atau bahkan sekadar harapan buat bisa makan enak besok. Harapan ini kayak bahan bakar buat kita. Meskipun sekarang lagi susah, kalau kita punya harapan, rasanya tuh kayak ada cahaya di ujung terowongan. Harapan ini yang bikin kita punya alasan buat bangun pagi dan ngadepin hari. Tanpa harapan, hidup bisa jadi terasa hampa banget, guys. Makanya, kita sering lihat orang yang lagi sakit parah aja tetep semangat berjuang. Itu karena mereka punya harapan buat sembuh. Atau ada orang yang lagi terpuruk banget, tapi dia masih punya harapan buat bangkit lagi. Nah, harapan ini nggak datang begitu aja, lho. Kadang, kita harus ciptain sendiri. Kita harus yakinin diri kita sendiri kalau besok itu bakal lebih baik. Kita harus fokus sama hal-hal positif yang masih kita punya, sekecil apapun itu. Nggak usah terlalu mikirin yang udah lewat, karena yang udah lewat nggak akan bisa diubah. Fokus aja sama apa yang bisa kita kontrol sekarang, yaitu masa depan kita. Makanya, penting banget buat punya mindset yang positif. Kalau kita terus-terusan ngeluh dan pesimis, ya jelas aja kita nggak akan punya semangat buat bertahan. Tapi kalau kita mencoba melihat sisi baik dari setiap kejadian, meskipun itu susah, kita bakal nemuin kekuatan yang nggak kita duga sebelumnya.
Terus, ada juga faktor sosial. Manusia itu makhluk sosial, guys. Kita butuh orang lain. Makanya, banyak dari kita yang bertahan hidup bukan cuma buat diri sendiri, tapi juga buat orang-orang yang kita sayang. Bayangin aja, ada orang tua yang harus kerja keras demi anak-anaknya. Ada juga pasangan yang berjuang bersama menghadapi kesulitan. Keberadaan orang lain ini bisa jadi motivasi yang luar biasa buat kita. Kita nggak mau ngecewain mereka, kita mau jadi orang yang bisa diandalkan. Ikatan sama keluarga, sama teman, sama pasangan, itu semua bisa jadi kekuatan super buat kita. Makanya, kalau lagi merasa sendirian dan nggak punya semangat, coba deh hubungin orang-orang terdekat. Curhatin aja apa yang lagi kalian rasain. Kadang, dengan ngobrol aja, beban kita bisa jadi lebih ringan. Dan siapa tahu, mereka punya solusi atau sekadar bisa ngasih dukungan moral. Dukungan dari orang lain itu penting banget, lho. Jangan pernah meremehkan kekuatan pelukan hangat atau kata-kata penyemangat. Itu semua bisa jadi pembeda antara menyerah dan terus berjuang. Jadi, intinya, keinginan untuk bertahan itu datang dari berbagai macam sumber, baik dari dalam diri kita maupun dari luar. Semuanya saling berkaitan dan membentuk kekuatan luar biasa yang membuat kita terus melangkah maju.
Kapan Bertahan Jadi Beban?
Nah, guys, ngomongin soal bertahan hidup, kadang kita lupa ada kalanya bertahan itu malah jadi beban. Serius deh, nggak selamanya bertahan itu baik. Justru, kalau kita terus-terusan maksa bertahan dalam kondisi yang nggak sehat, itu bisa jadi bumerang buat diri kita sendiri. Kapan sih momennya bertahan itu jadi beban? Pertama, kalau bertahan itu bikin kita kehilangan diri sendiri. Bayangin, kamu harus pura-pura jadi orang lain, ngikutin semua kemauan orang lain, sampai-sampai kamu lupa siapa jati dirimu sebenarnya. Kamu nggak lagi ngelakuin apa yang kamu suka, nggak lagi ngomongin apa yang kamu pikirin. Kamu jadi kayak boneka yang dikendalikan orang lain. Itu nggak sehat banget, guys. Kehilangan jati diri itu sama aja kayak kehilangan kompas. Kamu jadi nggak tahu arah mau ke mana. Terus, kalau bertahan itu bikin kamu terus-terusan merasa nggak bahagia. Ya, namanya hidup kan pasti ada naik turunnya. Tapi, kalau setiap hari yang kamu rasain cuma sedih, cemas, atau bahkan putus asa, nah, itu tanda bahaya. Bertahan dalam kondisi yang bikin kamu sengsara itu nggak akan bikin kamu lebih kuat. Justru malah bikin kamu makin terpuruk. Kamu jadi kayak lagi ngambang di laut lepas tanpa pelampung. Makin lama makin tenggelam. Kita harus berani mengakui kalau situasi yang kita hadapi itu memang nggak baik buat kita. Nggak ada salahnya kok buat mengakui kalau kita udah nggak kuat lagi. Nggak semua masalah bisa diselesaikan dengan terus-terusan bertahan. Kadang, solusi terbaik adalah melepaskan.
Terus, kalau bertahan itu bikin kita mengabaikan kesehatan diri. Entah itu kesehatan fisik atau mental. Sering banget kita lihat orang yang rela nggak tidur berhari-hari demi kerjaan, atau ngelupain makan demi menyelesaikan tugas. Itu sama aja kayak kamu lagi ngebut di jalan tol tapi lupa isi bensin. Nggak akan bisa jauh. Begitu juga sama kesehatan mental. Kalau kamu terus-terusan stres, cemas, dan nggak punya waktu buat istirahat, otak kamu bisa overload. Akhirnya, kamu nggak bisa mikir jernih lagi. Kalau udah begini, mau bertahan sehebat apapun juga percuma. Kamu nggak akan bisa produktif, nggak akan bisa bahagia. Jadi, penting banget buat kita prioritaskan kesehatan diri. Jangan sampai demi bertahan, kita malah jadi sakit-sakitan. Ingat, badan dan pikiran kita itu aset paling berharga. Kalau aset ini rusak, ya semuanya jadi berantakan. Memang sih, melepaskan itu nggak gampang. Ada rasa takut, ada rasa bersalah, ada rasa nggak enakan sama orang lain. Tapi, kadang, melepaskan itu adalah bentuk keberanian yang paling besar. Berani untuk bilang cukup. Berani untuk memilih diri sendiri. Berani untuk mencari kebahagiaan yang lebih baik. Jadi, kalau kamu merasa bertahanmu itu sudah lebih banyak membawa duka daripada suka, mungkin sudah saatnya kamu berpikir ulang. Mungkin sudah saatnya kamu berani mengambil langkah yang berbeda. Nggak semua jalan yang lurus itu selalu benar, guys. Kadang, belokan yang nggak terduga justru membawa kita ke tempat yang lebih baik. Yang penting, kita berani mengambil keputusan itu. Dan ingat, kamu nggak sendirian. Banyak orang di luar sana yang juga pernah merasakan hal yang sama.
Memilih Jalan Keluar
Oke guys, kita sudah sampai di bagian akhir nih. Kalau memang bertahan karena terpaksa itu sudah jadi beban, terus gimana dong cara keluar dari situasi itu? Nggak semudah membalikkan telapak tangan sih, tapi bukan berarti mustahil. Pertama, kita harus berani mengakui kalau kita butuh perubahan. Ini langkah pertama yang paling krusial. Seringkali, kita terjebak karena kita nggak mau mengakui kalau kondisi kita itu nggak baik. Kita pura-pura kuat, pura-pura baik-baik aja. Padahal, di dalam hati kita menjerit. Mengakui kalau kita butuh pertolongan atau butuh perubahan itu bukan tanda kelemahan, tapi justru tanda kekuatan. Itu artinya kamu sadar diri dan mau memperbaiki keadaan. Setelah mengakui, langkah selanjutnya adalah evaluasi diri. Coba deh, kita luangin waktu buat ngaca. Apa sih yang bikin kita merasa terpaksa bertahan? Apa yang jadi sumber tekanan kita? Apakah itu pekerjaan? Hubungan? Atau mungkin tuntutan dari orang lain? Setelah tahu akar masalahnya, kita bisa cari solusinya. Nggak perlu langsung yang drastis, mulai aja dari hal-hal kecil. Misalnya, kalau kamu merasa tertekan sama pekerjaan, coba deh mulai belajar bilang 'tidak' untuk tugas-tugas tambahan yang nggak penting. Atau kalau kamu merasa nggak bahagia dalam hubungan, coba deh ajak pasangan bicara baik-baik dari hati ke hati. Komunikasi itu kunci, guys. Jangan dipendem sendiri, nanti meledak lho.
Lalu, yang nggak kalah penting adalah membangun support system. Kita nggak bisa berjuang sendirian, guys. Cari orang-orang yang bisa kamu percaya. Mereka bisa jadi teman, keluarga, atau bahkan profesional kayak psikolog atau konselor. Curhat aja apa yang lagi kamu rasain. Kadang, dengan sekadar didengarkan saja, beban kita bisa jadi lebih ringan. Mereka juga bisa ngasih perspektif baru atau solusi yang nggak terpikirkan oleh kita. Jangan malu minta tolong. Meminta tolong itu bukan berarti kita nggak mampu, tapi justru kita mau berusaha mencari jalan keluar terbaik. Dan yang terakhir, tapi nggak kalah penting, adalah berani mengambil risiko. Keluar dari zona nyaman itu pasti menakutkan. Ada rasa takut gagal, takut nggak dapat apa-apa. Tapi, kalau kita terus-terusan di tempat yang bikin kita sengsara, ya hasilnya juga nggak akan pernah berubah. Kadang, kita harus berani ambil keputusan besar, meskipun itu berisiko. Mungkin itu artinya pindah kerja, mengakhiri hubungan, atau bahkan memulai sesuatu yang baru dari nol. Ingat, setiap perubahan pasti ada konsekuensinya. Tapi, kalau perubahan itu menuju ke arah yang lebih baik, worth it kok. Yang penting, kamu sudah berani mencoba. Nggak ada jaminan kita akan sukses seratus persen, tapi kalau kita nggak mencoba, ya pasti kita nggak akan pernah tahu. Jadi, kesimpulannya, bertahan karena terpaksa itu memang berat. Tapi, kalau kita mau berani melihat, mengakui, dan bertindak, kita pasti bisa menemukan jalan keluar. Semangat ya, guys! Kamu nggak sendirian kok dalam perjuangan ini. Percaya sama diri sendiri, karena kamu lebih kuat dari yang kamu bayangkan. Ingat, hidup itu pilihan. Kamu berhak memilih kebahagiaanmu sendiri. Jadi, yuk, mulai sekarang, berani memilih jalan yang benar-benar membuatmu bahagia, bukan cuma bertahan demi tuntutan semata. Karena pada akhirnya, kebahagiaanmu itu yang paling penting.